Selasa, 21 Juli 2009

Ojo Rumongso Biso Nanging Bisoo Rumongso Yen Ora Biso Opo-opo

Orang Jawa bijak berkata ‘’ojo rumongso biso, nanging bisoo rumongso yen ora biso opo-opo’’ yang maksudnya janganlah merasa bisa, tetapi jadilah orang yang merasa tidak bisa apa-apa. Ungkapan kata-kata itu memang terbiasa kita dengar dan banyak diucapkan oleh orang tua ataupun berusaha dipahami oleh para pelaku spiritual yang mencoba mencari jati diri.



Begitu dalam makna itu sebenarnya dan orang yang benar-benar bisa menerapkan dalam keseharian kata-kata itu bisa dikatakan orang yang selalu terjaga dari kesalahan. Orang yang mampu menjaga ego, nafsu dan keinginan dunia yang berlebihan.

Merasa kecil dihadapan Allah, karena merasa diri tiada artinya dihadapan Allah, karena semua kehendak dan perilakunya mengacu pada sifat-sifat kebesaran Allah. Bisa dikatakan orang yang hidupnya menuju kesempurnaan kehidupan duniawi.

Dia bisa hidup tenang dan akan merasa dekat dengan Tuhannya. Tiada kesedihan dan ketakutan akan kehidupannya, karena semuanya diserahkan secara ikhlas kepada Allah. Merasa tiada harga dan hanya takut akan kebesaran Allah inilah, seseorang itu akan patuh terhadap kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah kepadanya. Dia akan mengamalkan sunah Rosul yang dianutnya.

Bila itu terjadi, dan limpahan kasih sayang serta cinta Allah pastilah tertuju kepadanya. Dan orang seperti inilah yang dianggap juga seorang wali. Orang yang akan selalu terjaga dari kesalahan dan dosa dan Allah akan membenci orang yang menyakiti seorang wali, seperti yang di firmankan dalam Al Qur’an Surat Yunus ayat 62 ‘’“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” .

Seperti halnya juga yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:
Allah Swt berfirman, ‘’Barangsiapa yang menyakiti seorang wali, berarti telah memaklumkan perang terhadap-Ku. Karena melawan dia . Seorang hamba bisa mendekatkan diri kepada Ku dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Tak pernah Aku merasa ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keraguanku mencabut nyawa seorang hamba-Ku yang beriman, karena dia tidak menyukai kematian dan Aku tak suka menyakiti hatinya; tetapi maut itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.“. Hadis itu diriwiyatkan Ahmad Hakim dan Tirmidzi.

Bagaimana sebenarnya orang itu dikatakan wali. Kata wali mempunyai dua makna. Yang pertama berasal dari bentuk fa’iil (subyek) dalam pengertian maf’ul (obyek). Artinya orang yang diambil alih kekuasaannya oleh Allah swt. Sebagaimana telah difirmankan oleh-Nya, “... dan Dia mengambil alih urusan (yatawalia) orang-orang saleh.” (Q.s. AI-A’raf 196). Sejenakpun si wali tidak mengurusi dirinya.
Wali yang kedua mengandung arti berasal dari bentuk fa’iil dalam pengertian penekanan (mubalaghah) dari faa’il. Yaitu orang yang secara aktif melaksanakan ibadat kepada Allah dan mematuhi-Nya secara terus menerus tanpa diselingi kemaksiatan.

Kedua arti ini mesti ada pada seorang wali untuk bisa dianggap sebagai wali yang sebenarnya, dengan menegakkan hak-hakAllah swt. atas dirinya sepenuhnya, disamping perlindungan Allah swt. padanya, di saat senang maupun susah.

Menurut Syeik Abdul Qosim al-Qusyairi, salah satu persyaratan seorang wali adalah bahwa Allah melindunginya dari mengulangi dosa-dosa (mahfudz), seperti halnya salah satu persyaratan seorang Nabi adalah bahwa dia terjaga dari segala dosa (ma’shum). Siapa pun yang berbuat dengan cara yang menyimpang dari syariat Allah swt. berarti telah tertipu.

Ada sebuah cerita, suatu ketika Abu Yazid al-Bisthamy berangkat untuk mencari seseorang yang oleh orang-orang lain digambarkan sebagai seorang wali. Ketika sampai ke masjid orang tersebut, dia lalu duduk dan menunggu orang tersebut keluar. Orang itu pun keluar setelah meludah di dalam masjid. Abu Yazid pun pergi begitu saja tanpa memberi salam kepadanya, dan berkata, `Inilah orang yang tak bisa dipercaya untuk melaksanakan adab yang benar seperti dinyatakan dalam hukum Allah. Bagaimana mungkin dia bisa diandalkan untuk menjaga rahasia-rahasia Allah swt ?”

Tiadalah mungkin orang yang begitu dekat dengan Allah akan membuang kotoran seenaknya di tempat yang disucikan. Ada sebuah ungkapan, orang yang pandai bicara menyitir sabda nabi dan menjabarkan firman Allah secara fasih, belum tentu ia paham makna yang diucapkannya.

Beda Pendapat
Bagi orang yang menyadari kedekatannya dengan Allah, bisa jadi ia tak begitu mempersoalkan keberadannya, namun orang-orang terdekat atau yang kenal dia tentu berpikiran lain. Bahkan, terdapat ketidaksepakatan di kalangan kaum Sufi mengenai apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk menyadari bahwa dirinya adalah seorang wali atau bukan.

Ada yang mengatakan, “Hal itu tidak diperbolehkan. Sang wali harus selalu introspeksi dirinya dengan pandangan penuh hina. Jika suatu karomah terjadi melalui dirinya, dia merasa takut jika karomah tersebut merupakan godaan dan dia senantiasa merasa takut jika keadaan akhirnya berlawanan dengan keadaannya sekarang.” Para Sufi yang berpendapat seperti ini menjadikan syarat kewalian, harus selaras dengan keteguhannya hingga akhir hayat.

Tetapi, ada sebagian Sufi mengatakan, “Boleh saja seorang wali mengetahui bahwa dirinya adalah wali, dan kesetiaan pada kewalian sampai akhir hayat sang wali bukanlah persyaratan untuk mencapai derajat kewalian di saat ini.”

Jika kesetiaan seperti itu merupakan prasyarat untuk mencapai derajat kewalian, bahwa seorang wali akan dianugerahi suatu karomah tertentu yang dengannya Allah memberitahukan kepadanya mengenai kepastian keadaan akhirnya. Sebab, kepercayaan terhadap karomah seorang wali adalah wajib.

Walaupun ia dipisahkan rasa takut akan keadaan akhirnya, namun sikapnya mengagungkan dan me-Mahabesarkan bisa meningkatkan kondisi batin secara lebih efektif daripada banyaknya rasa takut itu sendiri.

Suatu ketika Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sepuluh orang sahabatku akan berada di surga,” maka sepuluh orang itu sangat percaya kepada sabda Rasulullah saw dan mengetahui kepastian nasib mereka. Hal ini tidaklah membuat cacat keadaan mereka. Sebab di antara syarat sahnya memahami`secara benar mengenai kenabian menuntut pemahaman mengenai definisi mukjizat, disamping itu juga pengetahuan tentang hakikat karomah.

Karena itu tidaklah mungkin bagi seorang wali, manakala dia menyaksikan suatu karomah terjadi di depan matanya, tidak mungkin ia tidak membedakan antara karomah dan lainnya. Jika menyaksikan hal seperti itu, sang wali mengetahui bahwa dia berada di jalan yang benar.

Sang wali juga diperkenankan mengetahui realita yang akan datang dengan tetap konsisten pada kekinian perilakunya. Dianugerahi pengetahuan ini sendiri adalah suatu karomah. Ajaran tentang - karomah wali adalah benar, sebagaimana dipersaksikan oleh banyak riwayat Sufi.

Bagi seorang manusia yang sudah diakui kedekatannya oleh Allah, tentu banyak karomah yang diperolehnya. Dia bisa saja takut akan karomah yang di dapatnya, namun dengan keikhlasan dan kepasrahan itulah yang membuatnya terjaga dari kesalahan, menerima petunjuk dari Allah.

Dengan mengadopsi ungkapan bahasa jawa tersebut, bisa dikatakan seseorang akan tertuntun kedekatan rohaninya menuju kebenaran sejati. Jalan yang diridhoi Allah untuk menjalani kehidupan ini.

Perbedaan antara 'Ilmu dan Ma'rifat


Ma’rifat adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri. Yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan diri dengan api”.



Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.

Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.
Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya].

Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “

Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab
Pastilah seluruh makhluk sempurna

Namun hijab itu amat halus
Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.
Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).

Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”
Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan di dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”

Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:
Matahari siang tenggelam di waktu senja
matahari kalbu tiada pernah tenggelam
Siapa yang mencintai Sang Kekasih
`Kan terbang sayap rindunya
menemui Kekasihnya.

Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya:
Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan
Cahaya I1ahi dengan rahasia di atas rahasia
Yang terdapat dalam berbagai hijab
Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka
Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.

Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”

Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.
Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”.


Imam A Ghazali

Kamis, 16 Juli 2009

Asal Mula Tanah Jawa

Pulau Jawa memiliki karakteristik dan nilai jual sangat tinggi dibanding pulau lain di Indonesia, bahkan belahan dunia. Nabi Muhammad bahkan memiliki penilaian tersendiri, terhadap Jawa di masanya.
Jawa yang dulunya gabungan dari Sumatera, Bali, Madura, mulai masuk peradaban dimasa Nabi Isa. Namun, siapapun yang masuk selalu tak bertahan lama dan meninggal.



Dalam Serat Mahaparwa, karangan Empu Satya di Mamenang (Kediri), tahun 851 S atau 879 C, penghuni tanah jawa pertama kali adalah para dewa. Dewa ini datang dari Gunung Himalaya India. Mereka datang dipimpin langsung oleh Sanghyang Guru dan memberi nama pulau dawa (panjang). Namun setelah berdiam selama 15 tahun, para dewa ini balik lagi ke India, sehingga pulau ini sepi lagi.
Keberadaan puau Jawa ini, kemudian menarik perhatian Prabu Isaka dan kemudian dikenal Ajisaka, yang saat itu tinggal di Hindustan. Dia adalah putera Bathara Ramayadi.
Karena terjadi perebutan tahta, Ajisaka mengungsi ke hutan dan di sana ditemui ayahnya dan kemudian disuruh mencari daerah yang pernah ditinggali Bathara Guru. Setelah menemukan daerah yang dimaksud, dia memberi nama Pulau Jawa. Diambil dari banyaknya tanaman Jawawut di kawasan tersebut.
Pertama kali Prabu Ajisaka menempati dan membuat rumah di Gunung Kendeng di daerah Prabalingga dan Besuki.Dia memilih daerah tersebut setelah mengelilingi pulau tersebut selama 103 hari

Rabu, 15 Juli 2009

Senin, 13 Juli 2009

Mengapaaa Yaaa Mengapaaa Allah

Mengapa Tuhan menciptakan deretan alam dan dan susunan tubuh yang begitu rumit?. Mengapa Ia menciptakan dunia ini yang penuh dengan kesusahan, kesakitan dan peneritaan?

Maka, tanyalah kepada Dia yang telah menciptakannya. Pada waktu Ia menciptakannya, aku tidak berada bersamaNya.

Itu seee kata-kata filusuf...., tetapi sebenarnya ada alasannya. Namun, beberapa hal harus dilihat dulu agar kita dapat mengetahuinya dan bukan memahaminya melalui pembahasan maupun pemikiran.


Kepandaian serta kebijaksanaan manusia hanya sedikit sekali membantu kita. Di atas itu semua, kita harus mengandalkan 'intuisi', mata jiwa yang dapat 'melihat' dan untuk membuka mata tersebut diperlukan pertolongan seorang guru rohani yang sempurna.

Tuhan memberikan kita intelek untuk melakukan pekerjaan duniawi, yaitu dunia fenomena ini. Di atas itu, kebijaksanaan tidak bekerja. dan lagi pula, apakah kebijaksanaan itu? Itu merupakan sari atau hasil dari pengalaman-pengalaman yang kita peroleh melalui indera jasmani d dalam dunia jasmani (dari benda). 

Pada setiap orang, kebijaksanaan itu berbeda. Lingkungan, kondisi hidup, peran yanga besar dalam pembentukan 'kebijaksanaan' atau 'akal sehat', dan hasil-hasil yang diperoleh dari pemikiran tersebut tidak sama setiap orang.

Bila kita sedang marah dan berada di bawah pengaruh nafsu, maka cara berpikir akan sangat berbeda dari manakala kita sedang tenang dan damai. Itu berubah-ubah menurut suasana hati dan masing-masing orangnya, dan itu berbeda-beda sesuai dengan usia.

Ketika masih kecil, sewaktu meningkat dewasa, sewaktu miskin atau selagi kaya, ia berubah mengikuti perubahan yang ada. Bila 'patokan cara berpikir' tersebut selalu berubah, bagaimana kita dapat mengandalkan hasil-hasil 'pengukuran'nya?

Kemampuan otak untuk berpikir sehat hanya cukup untuk mengevaluasi serta memahami apa-apa yang dapat dimengerti oleh indera jasmani. Ia terlalu lemah untuk dapat memahami ''Yang Tak Terpahamkan'. Tuhan serta perbuatan-perbuatan Tuhan hanya dapat dipahami oleh jiwa. Disitu, ia ''Melihat'' dengan jelas dan ''mengetahui'' tanpa berpikir..

Marilah Kita Selalu Melihat Diri

Sobat, sering kita merenung dan bertanya, apa yang terjadi dengan diri ini? Kebingungan sering mendera kita bila mengalami hal tersebut. Ada yang mencoba mendalami agamanya dengan berusaha mencari jawabnya.

Tak mudah memang untuk mendapatkan jawaban dengan pertanyaan diri kita sendiri. Kita sudah berusaha bertanya kepada pemuka agama dan mereka yang dianggap paham soal agama, tetapi dalam diri kita masih saja muncul benturan.

Nah... mencari jati diri dan mencari kebenaran hakiki memang sangatlah sulit dan berat. Kita harus benar-benar bisa menemukan seorang guru yang sempurna yang bisa mengarahkan kita dan membelai hati kita dengan kata-katanya untuk mendapatkan kedamaian...

Marilahhh, kita semua mencari dan mencari dan bila bertemuu.... ooooo kenikmatan yang hakikilah yang akan diperoleh.....

surakarta